3S Prinsip Pengembangan Pariwisata Senin, Februari 6 3S, Prinsip Pengembangan Pariwisata Guru Geografi 06 Februari Geowisata Pariwisata merupakan salah satu sektor yang berkembang pesat di era modern saat ini. Kegiatan pariwisata dapat meningkatkan pendapatan daerah dan menjadi pendongkrak citra negara Indonesia di mata dunia.
PengertianPariwisata. Pengertian pariwisata dapat kita lihat dari pendapat para ahli berikut ini. Pariwisata erat kaitannya dengan dunia liburan, senang-senang, study tour dan juga bisnis. Pemerintah juga memperhatikan secara khusus sektor pariwisata, tentu saja melalu Dinas Pariwisata yang tersebar di seluruh wilayah di Indonesia.
ASAS FUNGSI, DAN TUJUAN PRINSIP PENYELENGGARAAN KEPARIWISATAAN PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN. Pasal 1 Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya
Wisataadalah salah satu kegiatan yang dibutuhkan setiap manusia. Dalam Undang-undang No. 10 tahun 2009, wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam waktu sementara.
Kegiatanwisata ini dapat dikelola oleh suatu badan usaha, sedang pelaksana atraksi parsialnya tetap dilakukan oleh petani lokal yang memiliki teknologi yang diterapkan. Daerah pengembangan wisata di Bali, yang umumnya terdapat di wilayah pesisir, secara umum menimbulkan dampak lingkungan, seperti pengurugan hamparan terumbu karang dan
22.3 Prinsip - Prinsip Pembelajaran Tematik - Integratif 25 2.2.4 Manfaat Pembelajaran Tematik - Integratif 26 2.2.5 Implikasi Pembelajaran Tematik - Integratif di SD 27 2.2.6 Pembelajaran IPS Terintegrasi Model Webbed (Jaringan) 28 2.2.7 Bahan Ajar Pembelajaran IPS Terintegrasi 29 Bagaimanakah efektifitas pengembangan pembelajaran
. The purpose of this study was to know and analyze the implementation of the ecotourism principles by the DKI Jakarta's tourist guides. The study is a survey using a questionnaire developed by the underlying theories of five ecotourism principles. In the early stages, theoretical validation was conducted toward 20 respondents. Validity and reliability test results showed all items are valid. Data was collected using simple random sampling technique involving 71 respondents. The measurement of the implementation used mean score and the result was then described. Two categories of the respondent criteria, the tourist guide level and the working experience were also analyzed using non parametric analysis Mann Whitney dan Kruskal Wallis with SPSS ver. software. The results showed that the tourist guides "often" but not "always" implement the ecotourism principles while on duty. Based on the tourist guide level and the working experience, it is shown that there is a significant difference in implementing the ecotourism principles while on duty. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 51 PENERAPAN PRINSIP-PRINSIP EKOWISATA OLEH PRAMUWISATA DKI JAKARTA Lenny Yusrini1, Nova Eviana2 Prodi Usaha Wisata, AKPINDO Jakarta lenny4hcd emanova_jenk Abstract The purpose of this study was to know and analyze the implementation of the ecotourism principles by the DKI Jakartaâs tourist guides. The study is a survey using a questionnaire developed by the underlying theories of five ecotourism principles. In the early stages, theoretical validation was conducted toward 20 respondents. Validity and reliability test results showed all items are valid. Data was collected using simple random sampling technique involving 71 respondents. The measurement of the implementation used mean score and the result was then described. Two categories of the respondent criteria, the tourist guide level and the working experience were also analyzed using non parametric analysis Mann Whitney dan Kruskal Wallis with SPSS ver. software. The results showed that the tourist guides âoftenâ but not âalwaysâ implement the ecotourism principles while on duty. Based on the tourist guide level and the working experience, it is shown that there is a significant difference in implementing the ecotourism principles while on duty. Keywords ecotourism, ecotourism principles, tourist guide Pendahuluan Latar Belakang Pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang mampu menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan sosial budaya, dan ekonomi sehingga sumber daya wisata tetap dapat dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata lain, pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak lingkungan. Dengan demikian pembangunan dan pengembangan bidang pariwisata mampu menjaga kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat. Singkatnya, pembangunan yang dilakukan merupakan pembangunan pariwisata yang berkelanjutan sustainable tourism. Salah satu bentuk pengelolaan pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata. Pergeseran konsep pengelolaan kepariwisataan dari wisata massal mass tourism ke ekowisata menjadi peluang bagi meningkatnya perjalanan wisata ke daya tarik wisata alam. Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar di dunia dan memiliki suku bangsa dengan ragam budaya yang sangat besar memiliki potensi pariwisata alam dan budaya yang harus dipertahankan. Kekayaan alam dan budaya ini harus terus terjaga kelestariannya sehingga pengelolaan pariwisata dengan konsep ekowisata sangat sesuai diterapkan di Indonesia. Pengelolaan pariwisata berkonsep ekowisata dapat menjadi jawaban untuk pelestarian sumber daya alam dan budaya yang menjadi modal dasar Indonesia sebagai salah satu destinasi wisata dunia sekaligus memberikan pendidikan alam dan lingkungan bagi wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata alam dan budaya. Menurut United Nations World Tourism Organisation UNWTO, 2012, pariwisata berkelanjutan merupakan pariwisata yang memperhitungkan secara penuh dampak ekonomi, sosial dan lingkungan sekarang dan yang akan datang, menjawab kebutuhan pengunjung, industri pariwisata, lingkungan dan komunitas tuan rumah. Pariwisata berkelanjutan merupakan sebuah proses dan sistem pembangunan pariwisata yang mampu menjamin keberlangsungan atau keberadaan sumber daya alam, kehidupan sosial budaya dan ekonomi sehingga tetap mampu dinikmati oleh generasi yang akan datang. Dengan kata lain, pariwisata berkelanjutan mampu memberikan manfaat jangka panjang kepada perekonomian lokal tanpa merusak lingkungan. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 53 Prinsip-prinsip keberlanjutan mengacu kepada keseimbangan dan penjaminan keberlanjutan antar dimensi lingkungan, ekonomi dan sosio-budaya dalam pembangunan kepariwisataan. Untuk itu pariwisata berkelanjutan hendaknya 1. Memanfaatkan sumber daya lingkungan yang menjadi elemen kunci dalam pembangunan kepariwisataan secara optimal, menjaga proses ekologi penting dan membantu mengkonservasikan pusaka alam dan keanekaragaman hayati; 2. Menghormati keotentikan sosio-budaya dan komunitas tuan rumah, melestarikan pusaka buatan dan kehidupan budaya masa kini, nilai nilai tradisional, dan berkontribusi terhadap pemahaman antar budaya dan toleransi; 3. Memastikan berlangsungnya operasi jangka panjang, yang memberikan manfaat sosio-ekonomi kepada semua pemangku kepentingan yang terdistribusi secara berkeadilan. Di sisi lain, pariwisata berkelanjutan juga harus menjaga tingkat kepuasan wisatawan yang tinggi dan menjamin pengalaman yang penuh makna bagi wisatawan. Salah satu mekanisme dari pariwisata berkelanjutan adalah ekowisata. Ekowisata pertama kali diperkenalkan oleh The Ecotourism Society TIES sebagai suatu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan untuk mengkonservasi lingkungan serta menyejahterakan masyarakat Latupapua, 2011. TIES mendefinisikan ekowisata sebagai perjalanan bertanggung jawab untuk menikmati keindahan alam dengan menjaga kelestarian lingkungan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Soetopo 2007 menjelaskan bahwa kegiatan ekowisata mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan mencintai kekayaan alam dan budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, kegiatan ekowisata mampu menumbuhkan kesadaran dan kecintaan, serta peran aktif untuk memelihara pelestarian lingkungan, sekaligus dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal. Setiap wisatawan tentunya menginginkan informasi tentang potensi daya tarik wisata yang dikunjungi. Salah satu unsur pelaksana pariwisata di lapangan yang berperan penting dalam pemberian informasi dan penjelasan mengenai upaya pelestarian alam dan budaya adalah pramuwisata. Dalam suatu perjalanan wisata, pramuwisata menjadi ujung tombak pelayanan karena berinteraksi secara langsung dengan wisatawan. Informasi yang ada di balik setiap daya tarik wisata alam dan budaya tidak dapat tersampaikan secara lengkap tanpa adanya peran pramuwisata. Untuk menjembatani informasi yang dimiliki oleh daya tarik wisata dengan wisatawan maka dibutuhkan jasa pramuwisata. Di Indonesia, wadah yang menghimpun pramuwisata resmi adalah Himpunan Pramuwisata Indonesia HPI. Struktur HPI terdiri atas Dewan Pimpinan Pusat DPP, Dewan Pimpinan Daerah DPW untuk wilayah tingkat I provinsi, serta Dewan Pimpinan Cabang DPC untuk wilayah tingkat II kota/kabupaten. Dalam konteks ekowisata, peran pramuwisata menjadi penting dalam menyampaikan informasi yang dapat menumbuhkan kecintaan dan apresiasi terhadap daya tarik wisata yang dikunjunginya. Untuk itu timbul kebutuhan tuntutan profesionalisme di bidang kepemanduan ekowisata. Dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 tentang Penetapan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata dijelaskan bahwa kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata di antaranya yaitu mengembangkan materi penafsiran untuk kegiatan ekowisata. Agar mampu memberikan pendidikan dan pengalaman wisata yang selaras dengan prinsip-prinsip ekowisata, maka persepsi pramuwisata terhadap prinsip inti ekowisata menjadi penting untuk diteliti. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta? Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 55 Tinjauan Pustaka Pramuwisata Pramuwisata adalah orang pertama yang diajak bicara oleh wisatawan dan seringkali melihat pemandu wisata sebagai wakil atau representasi dari suatu tempat Cole, 2008. Oleh karena itu pramuwisata sering disebut juga sebagai duta negara ambassador of a country. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menyebutkan bahwa pramuwisata termasuk dalam jenis-jenis usaha jasa pariwisata. Hal ini menunjukkan bahwa pramuwisata memiliki peran penting dalam pelayanan bagi wisatawan. Pramuwisata adalah seorang yang dipekerjakan untuk menemani wisatawan dan memberikan informasi tentang obyek atau tempat-tempat yang menarik untuk dikunjungi di wilayah NKRI Jumail, 2017. Menurut World Federation of Tour Guide Association WFTGA, 2003, pramuwisata adalah seseorang yang memiliki kualifikasi sesuai dengan area lisensinya berada, untuk memandu pengunjung dalam bahasa pilihannya dan menginterpretasikan peninggalan budaya dan alam di suatu daerah. WFTGA dalam hal ini menyatakan bahwa area kekuasaan pramuwisata harus sesuai dengan lisensi yang dimilikinya. Stanton dalam Jumail 2017 juga menegaskan mengenai lisensi ini dengan menyatakan bahwa pramuwisata harus memiliki lisensi. Selain itu disebutkan juga bahwa pramuwisata harus mampu memahami keinginan wisatawan, mengetahui rute-rute wisata, dan tidak hanya memberi informasi tetapi harus mampu menghibur wisatawan. Setiap pramuwisata resmi wajib memiliki lisensi yang dapat diperoleh dengan mengikuti Program Pendidikan dan Pelatihan Diklat Profesi Bidang Kepariwisataan yang dilaksanakan setiap tahun oleh dinas pariwisata di setiap provinsi di wilayah Indonesia. Untuk Provinsi DKI Jakarta, diklat diselenggarakan oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI Jakarta melalui Unit Pelaksana Teknis UPT Pusat Pelatihan dan Sertifikasi Kepariwisataan PPSK yang telah mendapat standar pelayanan mutu ISO 99012008. Program Diklat Pramuwisata terbagi atas beberapa tahapan jenjang atau tingkatan. Peserta Diklat yang lulus berhak memegang Sertifikat dan Lisensi Pramuwisata berdasarkan jenjang atau tingkatan sesuai dengan program Diklat yang telah diikutinya Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor yaitu 1. Pramuwisata Muda / Junior Guide Bagde. Merupakan pramuwisata yang bertugas di Daerah Tingkat II dalam wilayah Daerah Tingkat I tempat sertifikat keahliannya diberikan. 2. Pramuwisata Madya / Senior Guide Bagde. Pramuwisata madya bertugas dalam wilayah Daerah Tingkat I, tempat sertifikat keahliannya dikeluarkan. Seorang pramuwisata muda atau pemula dapat menjadi pramuwisata madya setelah selama lima tahun aktif menjadi pramuwisata. 3. Pengatur Wisata / Tour leader Bagde. Tugas pramuwisata sesuai Kepmenparpostel Nomor adalah 1. Mengantar wisatawan baik rombongan maupun perorangan yang mengadakan perjalanan dengan transportasi yang tersedia. 2. Memberikan penjelasan tentang rencana perjalanan dan obyek wisata, serta memberikan penjelasan mengenai dokumen perjalanan, akomodasi, transportasi dan fasilitas wisatawan lainnya. 3. Memberikan petunjuk tentang obyek wisata. 4. Membantu menguruskan barang bawaan wisatawan. 5. Memberikan pertolongan kepada wisatawan yang sakit, kecelakaan, kehilangan atau musibah lainnya. Huang et al. 2010 mengatakan bahwa performa pramuwisata merupakan salah satu faktor terpenting yang mempengaruhi kepuasan wisatawan. Terdapat tiga faktor yang membentuk performa pramuwisata, yaitu 1 penyampaian layanan, 2 orientasi wisatawan, dan 3 efektivitas komunikasi. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 57 Ekowisata Di Indonesia, ekowisata mulai menjadi perhatian mulai tahun 2002 yang ditandai dengan penetapan tahun 2002 sebagai tahun ekowisata dan pegunungan di Indonesia. Ekowisata, yang merupakan pengembangan dari pariwisata dan pariwisata berkelanjutan merupakan konsep pengembangan pariwisata yang berkelanjutan yang bertujuan untuk mendukung upaya-upaya pelestarian lingkungan alam dan budaya dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan, sehingga memberikan manfaat ekonomi kepada masyarakat dan pemerintah setempat Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata Di Daerah menyebutkan bahwa Ekowisata adalah kegiatan wisata alam di daerah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan unsur pendidikan, pemahaman, dan dukungan terhadap usaha-usaha konservasi sumber daya alam, serta peningkatan pendapatan masyarakat lokal. Choy dalam Asmara dan Suhirman 2012 menjelaskan bahwa ekowisata diberi batasan sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Terdapat 5 aspek utama untuk berkembangnya ekowisata, yaitu 1 adanya keaslian lingkungan alam dan budaya, 2 keberadaan dan daya dukung masyarakat 3 pendidikan dan pengalaman, 4 berkelanjutan, dan 5 kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata. Kegiatan ekowisata secara langsung maupun tidak langsung mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam serta budaya lokal sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam. Fennel dalam Pamungkas 2013 menyatakan bahwa ekowisata merupakan wisata berbasis alam yang berkelanjutan dengan fokus pengalaman dan pendidikan tentang alam, dikelola dengan sistem pengelolaan tertentu dan memberi dampak negatif paling rendah pada lingkungan, tidak bersifat konsumtif dan berorientasi lokal, berlokasi di wisata alam dan berkontribusi pada konservasi atau preservasi lokal. Choy dalam Asmara dan Suhirman 2012 menjelaskan bahwa ekowisata diberi batasan sebagai bentuk dan kegiatan wisata yang bertumpu pada lingkungan dan bermanfaat secara ekologi, sosial dan ekonomi bagi masyarakat lokal serta bagi kelestarian sumberdaya alam dan pemanfaatan yang berkelanjutan. Kegiatan ekowisata secara langsung maupun tidak langsung diharapkan akan mengarahkan wisatawan untuk menghargai dan mencintai alam, budaya lokal, sehingga dapat menumbuhkan kesadaran dan kepedulian wisatawan untuk turut memelihara pelestarian alam. Selain bertumpu pada konservasi alam dan budaya lokal, kegiatan ekowisata harus mampu memberikan manfaat secara perekonomian bagi masyarakat lokal. Terdapat 5 aspek utama untuk berkembangnya ekowisata, yaitu 1 adanya keaslian lingkungan alam dan budaya, 2 keberadaan dan daya dukung masyarakat 3 pendidikan dan pengalaman, 4 berkelanjutan, dan 5 kemampuan, manajemen dalam pengelolaan ekowisata. Page dan Dowling 2002 menjelaskan konsep dasar ekowisata ke dalam 5 prinsip inti ekowisata sebagai berikut 1. Nature based produk dan pasar yang berdasar pada alam. Pariwisata alam yang berdasar pada lingkungan alam dengan fokus pada obyek-obyek biologis, fisik, dan budaya. Wisata alam merupakan bagian atau keseluruhan alam itu sendiri termasuk unsur-unsur budayanya. 2. Ecologically suistainable pelaksanaan dan manajemen berkelanjutan. Dari kegiatan wisata diharapkan tidak terjadi kerusakan bagi alam atau lingkungan. Berkelanjutan secara ekologi berarti semua fungsi lingkungan baik biologi, fisik maupun sosial masih tetap berjalan dnegan baik. Suatu temapt yang sudah didatangi manusia tidak mungkin untuk tidak berubah, namun perubahan-perubahan itu harus dapat dijamin tidak mengganggu fungsi-fungsi ekologis yang seharusnya terjadi. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 59 3. Environmentally educative pendidikan lingkungan bagi pengelola dan pengunjung. Karakteristik pendidikan lingkungan merupakan unsur kunci yang membedakan ekowisata dari bentuk wisata lain. Lebih lanjut wisata diharapkan dapat mengajak wisatawan untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang positif terhadap lingkungan dengan cara meningkatkan usaha wisatawan untuk lebih peduli terhadap konservasi atau pelestarian lingkungan. Pendidikan lingkungan dalam kegiatan wisata dapat mempengaruhi perilaku wisatawan sekaligus membantu kelestarian di tempat wisata tersebut. 4. Locally beneficial bermanfaat untuk masyarakat lokal. Kegiatan pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung kepada masyarakat lokal. Misalnya masyarakat terlibat dalam kegiatan pelayanan terhadap wisatawan, penjualan barang-barang kebutuhan wisatawan, penyewaan sarana prasarana wisata, dll. Manfaat tidak langsung misalnya pengetahuan yang dibawa oleh wisatawan, bertambahnya wawasan dan hubungan dengan wisatawan, biaya konservasi kawasan dan sebagainya. Selain itu pelibatan masyarakat lokal akan meningkatkan pengalaman wisatawan terhadap budaya kebiasaan dan adat masyarakat lokal. Keuntungan yang didapat oleh masyarakat lokal dapat juga digunakan sebagai biaya konservasi sehingga kelestarian kawasan dapat tetap terjaga. 5. Generates tourist satisfaction memberikan kepuasan bagi wisatawan. Wisatawan akan merasa puas jika segala hal yang dibutuhkan selama kegiatan wisata dapat terpenuhi dengan baik dan memperoleh pengalaman berwisata secara optimal. Tujuan ekowisata dapat dicapai melalui penggunaan interpretasi dalam kepemanduan wisata. Interpretasi merupakan suatu pendekatan untuk mengkomunikasikan pesan terutama di kawasan konservasi alam dan lingkungan, seperti di taman nasional, hutan lindung, museum, kebun binatang dan kebun raya Ham, 1992. Interpretasi tidak hanya menyediakan informasi, tetapi juga mengembangkan pemahaman dan apresiasi terhadap sumber daya alam dan lingkungan serta membantu mengelola dampak dari wisatawan terhadap sumber daya tersebut Eagles, McCool, & Haynes, 2002. Interpretasi terhadap lingkungan dan alam budaya lokal, dan warisan budaya serta penjelasan mengenai perilaku yang sesuai saat berkunjung harus disampaikan kepada wisatawan. Berbagai penelitian terkini menyebutkan bahwa pramuwisata memiliki peran yang lebih dalam ekowisata dan wisata alam, antara lain dalam interpretasi kawasan, serta memotivasi wisatawan untuk mengubah perilakunya agar dapat meminimalisir dampak negatif pada daya tarik wisata. Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata Undang-Undang Kepariwisataan No 10 tahun 2009 tentang Kepariwisataan menjelaskan bahwa kompetensi merupakan seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh pekerja pariwisata, pelayanan, dan pengelolaan kepariwisataan. Pengetahuan knowledge adalah hasil penginderaaan manusia atau hasil tahu seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya. Dengan sendirinya pada waktu penginderaan sampai dengan menghasilkan pengetahuan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan persepsi terhadap obyek. Pengetahuan dipengaruhi oleh 1 tingkat pendidikan, semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan lebih mudah menerima dan menyerap hal-hal baru; 2 usia, semakin cukup usia seseorang akan semakin matang dan dewasa dalam berpikir dan bekerja; 3 pengalaman, dapat dijadikan sumber pengetahuan dan dasar untuk menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keterampilan skill merupakan aplikasi dari pengetahuan sehingga tingkat keterampilan seseorang berkaitan dengan tingkat pengetahuan Notoatmodjo, 2012. Perilaku/sikap attitude adalah tingkatan afeksi baik yang bersifat positif maupun negatif dalam hubungannya dengan obyek psikologi. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 61 PENGGOLONGAN BERDASARKAN SKKNI PENGGOLONGAN BERDASARKAN HIMPUNAN PRAMUWISATA INDONESIA HPI Pelatihan & Lisensi Pramuwisata Muda Pelatihan & Lisensi Pramuwisata Madya Pelatihan & Lisensi Tour Leader Sikap juga diartikan sebagai suatu konstruk untuk memungkinkan terlihatnya suatu aktifitas Marâad, 2001. Untuk memperoleh pramuwisata yang berkualitas maka pemenuhan kompetensi pramuwisata harus dilakukan. Agar kompetensi pramuwisata di seluruh Indonesia terjaga kualitasnya maka acuan kompetensi mengacu pada Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia SKKNI bidang kepemanduan wisata. Dalam melaksanakan tugasnya, seorang pramuwisata juga dituntut memiliki kompetensi yang terkait dengan prinsip-prinsip ekowisata. Sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 tentang Penetapan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata, di dalam unit kompetensi fungsional pemandu wisata terdapat unit kompetensi terkait ekowisata yang harus dimiliki oleh seorang pramuwisata, yaitu melakukan kegiatan yang bersifat interpretasi, mengembangkan materi penafsiran untuk kegiatan ekowisata, meneliti dan membagi informasi umum tentang kebudayaan etnik Indonesia serta menginterprestasikan aspek budaya etnik lokal Indonesia. Gambar 1 Jenjang Pramuwisata Berdasarkan Lisensi dan SKKNI Pada Gambar 1 terlihat bentuk jenjang pramuwisata sesuai dengan lisensi yang dimiliki oleh anggota HPI dan jenjang pramuwisata berdasarkan SKKNI. Lisensi diperoleh oleh pramuwisata setelah mengikuti pelatihan dan ujian sesuai dengan level yang ada agar dapat bertugas di wilayah sesuai lisensinya. Kemudian agar kemampuannya diakui maka pramuwisata tersebut mengikuti uji kompetensi sesuai dengan kualifikasi SKKNI. Metodologi Penelitian Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan merupakan metode deskriptif, yaitu metode penelitian yang dipergunakan untuk memberikan gambaran berdasarkan data-data atau fenomena-fenomena yang ada. Teknik Pengumpulan Data Dalam kegiatan penelitian ini digunakan dua jenis teknik pengumpulan data yaitu angket dan studi kepustakaan. Butir angket dikembangkan berdasarkan 5 prinsip inti ekowisata Page dan Dowling, 2002. Dari setiap indikator selanjutnya akan dikembangkan ke dalam 5 butir pernyataan yang bersifat favorable items. Pilihan jawaban pernyataan disusun ke dalam 5 alternatif jawaban, yang terdiri atas selalu SL dengan bobot 5, sering SR dengan bobot 4, jarang JR dengan bobot 3, kadang-kadang KD dengan bobot 2, dan tidak pernah TP dengan bobot 1. Tempat dan Waktu Penelitian Tempat penelitian dilaksanakan di Himpunan Pramuwisata Indonesia HPI DPD DKI Jakarta. Penelitian dilaksanakan selama kurun waktu Maret sampai dengan Mei 2018. Populasi & Sampel Dalam penelitian ini, populasi target penelitian adalah seluruh pramuwisata yang terdaftar sebagai anggota HPI DKI Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 63 Jakarta sampai dengan bulan Juni 2018 berjumlah 132 orang. Sedangkan penetapan sampel menggunakan ketentuan besaran sampel n paling sedikit empat atau lima kali banyaknya variabel Supranto, 2010. Responden penelitian adalah 71 pramuwisata, yang ditetapkan berdasarkan accidental sampling technique. Teknik Analisa Data Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata anggota HPI Jakarta. Data dianalisa dengan menggunakan nilai rata-rata mean untuk mendapatkan hasil penilaian penerapan prinsip ekowisata. Untuk beberapa kriteria profil responden, yaitu jenjang pramuwisata dan masa kerja digunakan juga non parametric analysis Mann Whitney dan Kruskal Wallis, dengan bantuan software SPSS ver. untuk mengetahui apakah ada perbedaan penerapan oleh pramuwisata ditinjau dari jenjang dan masa kerja. Pembahasan Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Draf angket ditelaah secara terbatas kepada 20 orang responden untuk uji validitas dan reliabilitas. Uji validitas dilakukan untuk menilai kesesuaian butir pernyataan dengan indikator. Pengujian dilakukan dengan menggunakan rumus Pearson Product Moment dengan software SPSS ver Hasil pengujian validitas menunjukkan bahwa seluruh butir dalam angket memiliki nilai koefisien korelasi > Maknanya adalah seluruh butir valid karena mampu mengukur apa yang seharusnya diukur Widoyoko, 2012. Seluruh butir selanjutnya digunakan dalam uji reliabilitas. Hasil uji reliabilitas menunjukkan perolehan nilai α = atau > Dengan demikian angket dinyatakan reliabel, sehingga dapat digunakan dalam pengumpulan data penelitian Widoyoko, 2012. Profil Responden Pada Tabel 1 digambarkan profil responden. Secara umum, berdasarkan jenis kelamin dapat dikatakan jumlah pramuwisata pria dan wanita tidak terlalu berbeda, yaitu 56% pria dan 44% wanita. Dari hal ini dapat dikatakan bahwa dunia kepemanduan wisata tidak memiliki batasan gender, dan diisi baik oleh pria maupun wanita. Selain itu, perkembangan dunia pariwisata yang semakin global menuntut pramuwisata selalu meningkatkan kapasitas dirinya termasuk dalam hal pendidikan. Saat ini jumlah pramuwisata anggota HPI Jakarta yang memiliki jenjang pendidikan tinggi D3 dan sarjana mendominasi yaitu sebesar yaitu 69%. Bidang kerja pramuwisata semakin diminati dan menjadi pilihan profesi. Hal ini dibuktikan dari kategori usia di mana usia produktif di atas 25 tahun 55 tahun menunjukkan jumlah terbesar yaitu 76%. Sementara sisanya sedikit berada pada kategori usia di bawah 25 tahun 14% dan di atas 55 tahun 10%. Profesi pramuwisata sebagai pilihan bidang kerja juga ditunjukkan melalui data masa kerja, di mana profesi ini telah ditekuni selama > 2 tahun oleh pramuwisata. Tabel 1 Profil Responden Tingkat pendidikan SMA/SMK D3 non pariwisata D3 pariwisata Sarjana Usia 17-25 26-35 36-45 46-55 56-65 Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 65 Tabel Lanjutan Jenjang lisensi Pramuwisata muda Pramuwisata madya Tour leader Sumber Hasil olah data, 2018 Penerapan Prinsip-Prinsip Ekowisata Oleh Pramuwisata DKI Jakarta Berdasarkan output olah data diperoleh hasil rata-rata mean penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta sebesar sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 2 berikut Tabel 2 Rata-Rata Penerapan Prinsip Ekowisata penerapan prinsip ekowisata Angka di atas diterjemahkan ke dalam garis interval nilai rata-rata dengan interval frekuensi diperoleh gambaran sebagai berikut Gambar 2 Garis Interval Penerapan Prinsip Ekowisata Dengan nilai rata-rata penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata sebesar maka angka ini berada pada posisi di antara kategori âseringâ dan âselaluâ tetapi lebih mendekati âseringâ. Secara umum dapat dijelaskan bahwa dalam menjalankan tugas pemanduannya pramuwisata DKI Jakarta sering namun tidak selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata. Hasil ini menunjukkan bahwa belum semua pramuwisata menyadari pentingnya penerapan prinsip ekowisata selama pramuwisata tersebut bertugas. Penelaahan lebih lanjut dilakukan dengan uji beda dengan menggunakan Kruskal Wallis Test berdasarkan tingkat pendidikan pramuwisata, yang terdiri atas SMA/SMK, D3 non pariwisata, D3 pariwisata, dan sarjana. Usman 2011 menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan karyawan maka akan semakin tinggi kinerja yang ditampilkan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian empirik yang dilakukan oleh Wirawan, et al. 2016 yang menyatakan bahwa tingkat pendidikan dan pengalaman kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap kinerja karyawan. Hipotesis yang diterapkan sebagai berikut Ha Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan. H0 Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan tingkat pendidikan. Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika nilai signifikansi maka H0 diterima dan Ha ditolak. Berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan pramuwisata, pada Tabel 3 diperoleh nilai signifikansi sebesar atau > Tabel 3 Hasil Uji Beda Berdasarkan Tingkat Pendidikan Penerapan prinsip ekowisata b. Grouping Variable tingkat pendidikan Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 67 Tabel 3 menunjukkan hasil bahwa pada penelitian ini tingkat pendidikan pramuwisata DKI Jakarta tidak memberikan perbedaan yang signifikan terhadap penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata. Hal ini dibuktikan dengan hasil nilai signifikansi sebesar atau > Hasil ini tidak mendukung penelitian sebelumnya oleh Wirawan et al. 2016. Selanjutnya dilakukan analisa dengan menghitung nilai rata-rata mean penerapan prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan yang hasilnya ditampilkan pada Tabel 4. Hasil olah data menunjukkan bahwa nilai rata-rata penerapan prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan sebesar Tabel 4 Nilai Rata-Rata Berdasarkan Tingkat Pendidikan penerapan prinsip ekowisata Gambar 3 memperlihatkan nilai rata-rata tersebut ketika diterjemahkan ke dalam garis interval. Posisi penerapan prinsip ekowisata berdasarkan tingkat pendidikan berada pada kategori di antara âseringâ dan âselaluâ, tetapi lebih mendekati âseringâ. Gambar 3 Garis interval nilai rata-rata berdasarkan tingkat pendidikan Telaah penerapan prinsip-prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta dilakukan juga berdasarkan jenjang lisensi pramuwisata muda, pramuwisata madya, tour leader, dengan hipotesis sebagai berikut Ha Terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan jenjang lisensi. H0 Tidak terdapat perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata DKI Jakarta berdasarkan jenjang lisensi. Kriteria pengujian yang digunakan adalah jika nilai signifikansi maka H0 diterima dan Ha ditolak. Berkaitan dengan penerapan prinsip-prinsip ekowisata berdasarkan jenjang pramuwisata, pada Tabel 5 diperoleh nilai signifikansi sebesar atau maka H0 diterima dan Ha ditolak. Dilihat dari jumlah pramuwisata berdasarkan masa kerja, jumlah terbanyak ada pada kategori pramuwisata dengan masa kerja lebih dari 2 tahun. Perbandingan antar kelompok pramuwisata berdasarkan masa kerja menunjukkan adanya perbedaan dalam menerapkan prinsip-prinsip ekowisata. Hal ini ditunjukkan dengan nilai signifikansi sebesar atau 2 tahun memiliki nilai rata-rata sebesar sementara pramuwisata dengan masa kerja †2 tahun lebih rendah yaitu Tabel 8 Nilai Rata-Rata Berdasarkan Masa Kerja Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 71 Hasil di atas jika diterjemahkan ke dalam garis interval menunjukkan posisi penerapan prinsip ekowisata berdasarkan masa kerja sebagai berikut Gambar 5 Garis Interval Nilai Rata-Rata Berdasarkan Masa Kerja Pramuwisata dengan masa kerja >2 tahun menunjukkan nilai rata-rata yang lebih tinggi lebih menjauhi âseringâ daripada pramuwisata dengan masa kerja â€2 tahun. Artinya pramuwisata dengan masa kerja >2 tahun lebih sering menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama ia bertugas. Hasil tersebut didukung penelitian Kong 2012 yang menjelaskan bahwa pramuwisata yang memiliki masa kerja lebih dari dua tahun memperoleh informasi lebih banyak mengenai perlindungan lingkungan dibandingkan pramuwisata yang masih baru. Ketika pramuwisata mendapatkan sertifikat kompetensi, mereka telah dibekali dengan beberapa unit kompetensi yang erat kaitannya dengan ekowisata, antara lain unit kompetensi Mengembangkan Materi Penafsiran untuk Kegiatan Ekowisata dan Melakukan Kegiatan yang bersifat Interpretasi. Oleh karena itu, setelah mengikuti pelatihan dan sertifikasi kompetensi, pramuwisata mengetahui bahwa merupakan tugasnya untuk menyampaikan dan memberi contoh perilaku yang sesuai dengan prinsip-prinsip ekowisata. Tetapi dari penelitian ini diperoleh hasil bahwa belum semua pramuwisata menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas sering, tetapi tidak selalu. Temuan penelitian ini mendukung penelitian yang dilakukan oleh Kong 2012 yang meneliti pramuwisata di Cina. Ditemukan bahwa walaupun pramuwisata menyadari bahwa informasi yang disampaikan dapat mengubah persepsi dan perilaku wisatawan terhadap lingkungan, tidak semua pramuwisata menyadari sepenuhnya bahwa memberikan pendidikan lingkungan bagi wisatawan merupakan salah satu tugas mereka. Untuk meningkatkan kesadaran dan kemampuan interpretasi ekowisata maka penting bagi pramuwisata untuk meningkatkan kompetensinya di bidang kepemanduan wisata dengan mengikuti pelatihan terkait ekowisata. Black dan Ham 2005 mengatakan bahwa dalam kegiatan pelatihan tersebut perlu ditekankan tiga peran kunci seorang pramuwisata terkait dengan perilaku sesuai prinsip ekowisata, yaitu 1 sebagai seorang pemberi informasi khusus, 2 sebagai interpreter, dan 3 sebagai motivator untuk nilai-nilai konservasi dan penerapan perilaku yang bertanggung jawab terhadap lingkungan. Beberapa penelitian menemukan bahwa peran pramuwisata utamanya adalah sebagai interpreter, terutama di lokasi dimana perilaku wisatawan yang tidak sesuai dapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan Yamada, 2011. Seperti yang disarankan oleh Christie dan Mason 2003, pelatihan terhadap pramuwisata seharusnya tidak hanya meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan pramuwisata tetapi juga memfasilitasi perubahan pada perilaku atas aktivitas lingkungan yang bertanggung jawab. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan cara 1 menyelenggarakan kunjungan bagi pramuwisata ke taman wisata alam, mengundang pakar untuk memperkenalkan pengetahuan bidang ekowisata, serta menyelenggarakan lokakarya dan seminar yang memungkinkan pramuwisata senior untuk berbagi pengalaman dan informasi mengenai kepemanduan berbasis alam dan lingkungan. Diharapkan melalui kegiatan-kegiatan ini pramuwisata dapat meningkatkan ketrampilan interpretasi dan komunikasi terkait wisata alam dan ekowisata. Pramuwisata senior dapat memotivasi pramuwisata lainnya untuk berkontribusi terhadap pariwisata berkelanjutan. 2 memberikan insentif terhadap pramuwisata yang memiliki performa di atas standar yang ada. Untuk itu, diperlukan penetapan terhadap standar pengukuran perilaku dan interpretasi pramuwisata. 3 menyelenggarakan kompetisi bagi pramuwisata di bidang kepemanduan yang berwawasan lingkungan Kong, 2012. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 73 Penelitian yang dilakukan oleh Higham dan Carr 2003 menunjukkan bahwa wisatawan mengapresiasi interpretasi yang diberikan oleh pramuwisata dalam rangka meningkatkan kesadaran terhadap isu-isu lingkungan dan menurunkan dampak negatif perilaku wisatawan terhadap lingkungan. Wisatawan juga percaya bahwa kehadiran pramuwisata membantu meminimalisasi perilaku wisatawan yang kurang sesuai saat berada di daya tarik wisata. Hal ini menunjukkan bahwa penting bagi pramuwisata untuk menyadari bahwa peran mereka dalam menyampaikan interpretasi dapat mempengaruhi kepuasan wisatawan. Penelitian lain yang mendukung adanya keterkaitan antara kemampuan interpretasi pramuwisata dengan kepuasan wisatawan juga diperoleh dari Hiwasaki 2006. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa ketidakpuasan wisatawan salah satunya dipengaruhi oleh minimnya pengetahuan pramuwisata tentang budaya lokal dan wawasan lingkungan. Penutup Simpulan dan Saran Dari hasil penelitian dapat diambil kesimpulan bahwa secara umum penerapan prinsip-prinsip ekowisata sering dilakukan oleh pramuwisata DKI Jakarta dalam menjalankan tugas pemanduannya, namun belum pada tahapan selalu menerapkan. Ditemukan juga bahwa tidak ada perbedaan penerapan prinsip ekowisata oleh pramuwisata berdasarkan tingkat pendidikannya. Sementara perbedaan muncul pada jenjang lisensi dan masa kerja. Semakin tinggi jenjang lisensi pramuwisata, dan semakin lama masa kerjanya, maka pramuwisata semakin sering menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas memandu wisatawan. Mengingat beberapa unit kompetensi fungsional pramuwisata terkait dengan ekowisata, maka seharusnya prinsip-prinsip ekowisata harus selalu diterapkan dalam setiap tugas pemanduan pramuwisata DKI Jakarta. Untuk itu, perlu diberikan pembekalan tambahan sehingga pramuwisata menyadari bahwa merupakan kewajibannya untuk selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas. Pembekalan tambahan ini juga diharapkan dapat membuat kemampuan pramuwisata terkait ekowisata lebih meningkat. Selain itu, perlu dipertimbangkan pemberian insentif dan apresiasi terhadap pramuwisata yang selalu menerapkan prinsip-prinsip ekowisata selama bertugas. Daftar Pustaka Buku dan Jurnal Asmara, Y. & Suhirman. 2012. Persepsi dan Sikap Masyarakat Terhadap Kegiatan Ekowisata Kampung Cikidang Desa Langensari Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. A SAPPK V V1N2. Black, R. and Ham, S. 2005. Improving the quality of tour guiding towards a model for tour guide certification. Journal of Ecotourism, 43, 178-195, DOI London. Christie, and Mason, 2003. Transformative tour guiding Training tour guided to be critically reflective practitioners. Journal of Ecotourism, 2 1, 1-16. Cole, Stroma. 2008. Tourism, Culture and Development Hopes, Dreams and Realities in East Indonesia. Clevedon Cromwell Press. Eagles, P. F. J., McCool, and Haynes, 2002. Sustainable Tourism in Protected Areas-Guidelines for Planning and Management. Gland, Switzerland IUCN. Ham, S. H. 1992. Environmental Interpretations A Practical Guide for People With Big Ideas and Small Budget. Golden, CO North American Press. Higham. J. E. S., & Carr, A. M. 2003. Sustainable Wildlife Tourism in New Zealand An Analysis of Visitor Experiences. Human Dimensions of Wildlife, 8, 25-36. Huang, S., Hsu, C. H. C., & Chan, A. 2010. Tour Guide Performance and Tourist Satisfaction A Study of Package Tours in Shanghai. Journal of Hospitality and Tourism Research, 273, 291-309. Prosiding Seminar Nasional, STIE Pariwisata Internasional. âPemberdayaan Sumber Daya Di Tengah Kemajuan Teknologi Untuk Keberlanjutan Industri Pariwisata Di Indonesiaâ. Jakarta, 21 November 2018. 75 Husaini, Usman. 2011. Manajemen Teori, Praktik dan Riset Pendidikan. Jakarta Bumi Aksara. Jumail, Mohamad. 2017. Teknik Pemanduan Wisata. Yogyakarta Penerbit Andi. Latupapua, Yosefita. 2011. Persepsi Masyarakat Terhadap Potensi Obyek Daya tarik Wisata Pantai di Kecamatan Kei Kecil Kabupaten Maluku Tenggara. Jurnal Agroforestri Volume VI Nomor 2 Juni 2011. Marâad. 2001. Sikap Manusia Perubahan Serta Pengukurannya. Bandung Ghalia Indonesia. Notoatmodjo, S. 2012. Metode Penelitian Kesehatan, edisi revisi, Rineke Cipta. Jakarta Kong, Haiyan. 2012. Are Tour Guides in China Ready for Ecotourism? An ImportanceâPerformance Analysis of Perceptions and Performances. Asia PaciïŹc Journal of Tourism Research, 2014 Vol. 19, No. 1, 17â34, Page, S. J., & Dowling, R. K. 2002. Ecotourism. Harlow, England Prentice Hall, Pearson Education. Pamungkas, Gilang. 2013. Ekowisata Belum Milik Bersama Kapasitas Jejaring Stakeholder dalam Pengelolaan Ekowisata Studi Kasus Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, Vol. 24 No. 1, April 2013. Putra, I Wayan Indra., Suwendra, I Wayan., Bagia, I Wayan. 2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Disilpin Kerja terhadap Kinerja Karyawan. E-Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha, Jurusan Manajemen Volume 4 Tahun 2016. Soetopo, Toni. 2007. Provinsi Nusa Tenggara Barat NTB Menghadapi Visit Indonesia Year 2008. Jurnal Komunika Majalah Ilmiah Komunikasi Dalam Pembangunan ISSN 0126-2491 Volume 10 Nomor 2 Tahun 2007. Supranto, J. 2010. Statistik Teori dan Aplikasi. Jakarta UI Press. Widoyoko. 2012. Teknik Penyusunan Instrumen Penelitian. Yogyakarta ID Pustaka Pelajar. Wirawan, Ketut Edy., Bagia, I Wayan., Susila, Gede Putu Agus Jana. 2016. Pengaruh Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja terhadap Kinerja Karyawan. E-Journal Bisma Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan Manajemen. Volume 4 Tahun 2016 1. Yamada, Naoko 2011. Why Tour Guiding Is Important for Ecotourism Enhancing Guiding Quality With The Ecotourism Promotion Policy in Japan. Asia Pacific Journal of Tourism Research Vol. 16, No. 2, April 2011. Undang-Undang dan Peraturan Keputusan Menteri Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi Nomor Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP. 57/MEN/III/2009 Tentang Penetapan SKKNI Bidang Kepemanduan Wisata Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2009 Tentang Pedoman Pengembangan Ekowisata SKKNI Fungsional BPW. Kementerian Pariwisata RI. UNWTO. 2012 Definition of Sustainable Tourism. Source diakses 17 Juli 2018. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. WFTGA. 2003. 10th International Convention Dunblane, United Kingdom. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this publication. Haiyan KongThis study aims to examine tour guides' perceptions about and behavior toward ecotourism. The target respondents were tour guides working in the front line of the tourism industry. A total of 350 data sets were collected in China. An importanceâperformance analysis was applied to examine the tour guides' perceived importance and performance simultaneously. The findings indicate that although the tour guides have realized the importance of ecological protection, they fail to perform well in educating tourists on the paradigm of ecotourism. Thus, the results may provide useful guidance for tourism management. This study concludes with a discussion of limitations and suggestions for future research. Naoko YamadaThe Ecotourism Promotion Policy in Japan requires tour guiding to be employed, although it provides little rationale for it. This paper reviews the literature to illustrate why tour guiding is important for achieving policy and ecotourism goals in order to support this requirement. An overview of ecotourism policy in Japan is provided, contributions of tour guiding to achieving the policy and ecotourism goals are described, and approaches to strengthening current practices along with the policy are discussed. It is suggested that non-profit organizations offer training to impart knowledge about guiding roles and interpretation at a national level and that ecotourism promotion councils teach knowledge about ecotour products and tourists at a regional certification is one mechanism used to assist in maintaining and improving professional or technical competence in numerous professions. It can potentially be used to assist in improving tour guide performance and raising and maintaining guiding standards. The aim of this research was to critically analyse the development of the Australian EcoGuide Program as a basis for building a model for tour guide certification as one mechanism of improving the quality of tour guiding. This was achieved through a review of the relevant literature, and by analysing the content, process, and elements of the EcoGuide Program, and selected industry stakeholders' views of the Program. A mixed methods approach was adopted and five data collection methods were used a telephone survey, in-depth interviews, focus group interviews, on-site questionnaires and secondary data analysis. Data were collected from six research populations nature/ecotour guides, nature-based tour operators, members of the EcoGuide Steering Committee, EcoGuide assessors, the Department of Industry, Science and Resources and Australian protected area managers. The results were triangulated to build an understanding of the content, elements, development process and stakeholders' views of the EcoGuide Program. The findings of this analysis are presented in a general model for tour guide is an indispensable tool for achieving the goals of ecotourism Weiler & Ham, 2001. Tour guiding is an educational activity that is part of the process of interpretation Knudson et al., 1995; Pond, 1993. In the past, tour guides were usually untrained, but guide training is now common in most developed countries McArthur, 1996. Tour guide training is an adult education activity, but much training is competency-based with an emphasis on knowledge transmission and skill acquisition. This article suggests that good training should lead to change, not only in terms of knowledge and skills, but also in attitudes and behaviour. It argues that good guide training should alter how guides think and act, and suggests that if trainee guides learn how to critique their own knowledge, attitudes and behaviour, they will be able to offer their clients tourists something more than a superficial introduction to a new environment, country or culture. Current guide-training practices in selected countries are reviewed and discussed. A case study of tour guide training in Kakadu National Park, Australia is presented and used as the basis for a proposed model of training, termed 'transformative tour guiding', which could improve the quality of ecotour guiding, as well as help sustain tourism is now the world's number one industry, and protected areas are the focus of an increasing proportion of it. It is imperative to manage tourist pressures so that visitors can appreciate protected areas without damaging what they come to study examines tour guide performance and its relationship with tourist satisfaction in the context of package tours in Shanghai. A multilayer framework of tourist satisfac-tion in the package tour context is proposed. Tourist satisfaction was conceptualized to include three aspects/layers satisfaction with guiding service, satisfaction with tour services, and satisfaction with the overall tour experience. Tour guide performance was found to have a significant direct effect on tourist satisfaction with guiding service and an indirect effect on satisfaction with tour services and with tour experience. Satisfaction with guiding service positively affected satisfaction with tour services but showed no direct effect on satisfaction with the overall tour experience. However, indirect effect of satisfaction with guiding service on satisfaction with tour experience mediated by satis-faction with tour services was significant. Implications for tour operators and govern-ment agencies are discussed. KEYWORDS tour guide performance; tourist satisfaction; tour operator; tour expe-rience; service quality Tour guides are frontline employees in the tourism industry who play an important role in shaping tourists' experience in a destination. Tour-guiding service is the core component of various tour services offered by tour operators. Whether tour guides can deliver quality service to tourists is not only essential to the business success of the tour operators they are affiliated with but also critical to the overall image of the destination they represent. In China, tourism authorities at different levels attach great importance to the industry practice regarding tour-guiding service. In 1989, the China National Tourism Administration CNTA launched the National Tour Guide Qualification Stroma ColeCan tourism help a poor remote community to develop? How much does tourism change a village? How can a village have the benefits tourism offers without the problems it can cause? These are the questions that lie at the core of this text. Using an anthropologist's eye and a high degree of trust, this book uncovers the story of tourism development in two small villages on a remote island of Eastern ethnography provides a rich description of life in a non-western marginal community in a contemporary global context and how they face the challenge of balancing socio-economic integration and cultural distinction. It uncovers the conflicts of tourism development between a poor community, tourists, governments and brokers. This micro study has ramifications beyond the locality. Many other villages in Indonesia are experiencing similar issues. Many of the challenges are relevant to peripheral communities across the globe. Themes in this book will resonate with studies of tourism, tourists, development, globalisation and cultural change from around the Higham Senior Lecturer Anna CarrVisitors to wildlife tourism attractions can provide valuable insights into the sustainability of the businesses that they visit. Qualitative data collection employing participant observations and visitor interviews was conducted at 12 ecotourism operations that offer wildlife tourism experiences in New Zealand. The objective was to develop insights into the visitor experience and to understand the viewpoints of visitors regarding the sustainability of those experiences. Although other dimensions of the wildlife tourism experience exist, important social and ecological dimensions of the visitor experience emerged from this research. Four prominent themes, which were identified within these dimensions, are presented and discussed. The results provide insights into sustainable wildlife tourism development in New Zealand, with implications for the design of interpretation programs, visitor management, and the delivery of several defining aspects of sustainable wildlife tourism experiences.
bagaimanakah prinsip pengembangan kegiatan pariwisata