Adapunlangkah-langkah yang digunakan untuk pengumpulan data penelitian ini, sebagai berikut: (a) Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik); (b) Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan
Halini salah satunya dikarenakan tafsir model tah}li>li> dinilai tidak memadai lagi untuk menjawab pelbagai persoalan kehidupan umat Islam belakangan, yang tentu saja berbeda dengan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perumus tafsir tah}li>li> di zamannya.8 Selain itu, sebagai keunggulannya metode tematik ini bersifat âinstanâ
Modelframing ini seringkali dipakai juga oleh seorang dai dalam melaksanakan misi penyebaran agama Islam. Dalam dunia tafsir, analisis framing hamper mirip dengan metode tafsir maudhui yang mencoba mengkonstruksi, menghubungkan, menseleksi teks-teks tertentu untuk memberikan pemahaman yang lebih mudah dan tersentuh oleh audiens (al-mad'u).
KajianAl-Qur'an di Indonesia; Sebuah Model Penelitian tafsir. (Telaah Atas "Popular Indonesian Literature of the Qur'an". Karya Howard M. Federspiel) [1] Oleh Ahmad Badrut Tamam[2] A. Pendahuluan. Al Qur'an sebagai kalam Allah, telah menyebut dirinya sebagai "petunjuk bagi manusia" dan memberikan "penjelasan atas segala sesuatu" sedemikian rupa
22 Model-model Penelitian Tafsir Model dapat diartikan sebagai contoh atau acuan. Sedangkan definisi penelitian sendiri adalah pemeriksaan yang dilakukan dengan berbagai usaha dan cara dengan tujuan mencari nilai kebenaran objektif yang disimpulkan melalui data-data yang terkumpul.
ModelBaru Penelitian Sastra (Metodologi Penelitian Sastra #5) A. Grounded Research. Penelitian sastra selalu berkaitan dengan teori sastra pula. Teori itu kadang-kadang kita impor dari negara lain. Kita sering tergila-gila pada teori yang berasal dari barat, seperti teori Abrams, Teeuw, Barthes, Eagleton, Taine, dan sebagainya.
. Related PapersBeberapa model penelitian agama islam I Tafsir, Hadis, dan FiqhTulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang manhaj tafsir yang berorientasi fiqh. Penelitian ini menggunakan metode kajian pustaka untuk memotret metode-metode tafsir yang menghasilkan konsekuensi hukum dalam masyarakat Islam. Pengumpulan data dilakukan dengan menelaah sumber primer dan sekunder dalam mendukung kajian tersebut. Hasil telaah dan penelitian menemukan latar belakang muncul dan berkembangnya corak penafsiran fiqih serta metode yang digunakan dalam penafsiran yang bercorak fiqih. Tafsir yang bercorak fiqih adalah tafsir yang terbilang tua, mengingat corak tafsir ini telah ada seiring dengan pertumbuhan tafsir itu sendiri. Tafsir fiqih adalah tafsir yang berorientasi pada pemahaman ayat-ayat hukum dalam Alquran. Tafsir ini lahir dari pemahaman fiqhiyah para fuqaha ketika mereka menafsirkan Alquran dengan menggunakan pendekatan fiqih, sehingga nuansa fiqih sangat terasa di paper discusses the MUI fatwa on Ahmadiyah. The purpose of this research is to find out MUI&39;s interpretation of religious harmony, as well as to find out the verses used by MUI in its fatwa on Ahmadiyah through the concept of hermeneutics Abou Khaled El Fadl. To answer this problem, the researcher uses the maudhu&39;i interpretation approach, which is interpreting the verses of the Qur&39;an not based on the order of the verses, but based on the problem being studied. It means to explain the verses of the Qur&39;an by referring to one specific subject, namely Ahmadiyya. This research uses a qualitative approach with library research. Data collection techniques are done by quoting, adapting, and analyzing the literature that is relevant to the problem discussed, then reviewing and concluding. The results showed that; through the authoritative hermeneutics of abou khaled el fadl against the MUI fatwa on the misguidance of the Ahmadiyah, there are several assumptions includ...This article analyses Sabilal Muhtadin, a magnum opus of Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari in Islamic jurisprudence. Al-Banjari is considered as a prominent intellectual from Banjarmasin, Indonesia who could contribute to the development of Islamic law beyond the municipal and national territory. In writing the Sabilal Muhtadin, al-Banjari have used three models of ijtihad, namely deductive, inductive, and the combination of the two. In applying the deductive method which should only refer to the verses of the Qurâan or the Hadith, however, he extends it to the opinion of previous Islamic jurits. This then proves that al-Banjari is not an independent mujtahid who exercise free ijtihad like the eponyms of Islamic schools of law. Yet, by applying the inductive especially, maslahah and sadd adz-dzariâa and the combined deductive-inductive methods, he is able to accommodate the social changes to the requirements of shariâa. Sabilal Muhtadin thus mirrors the intellectual developments ...Permasalahan seputar nikah mutah para ulama berbeda-beda pendapat dalam menetapkan hukumnya, di antaranya adalah Hamka. Hamka salah seorang tokoh ulama sekaligus sastrawan yang berpengaruh di Indonesia pada Abad ke-20, memandang praktek nikah mutah tersebut dengan perspektif yang berbeda. Sebagaimana terdapat dalam karya fenomenalnya yaitu kitab tafsir al-Azhar. Menurutnya bahwa ahlus-Sunnah sudah sependapat, nikah mutah hukumnya haram untuk selamanya. Sebab al-Quran sudah mengatur mengenai nikah, talak, rujuk, iddah dan lain-lain. Begitu juga Khalifah Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib telah melarang praktek nikah mutah tersebut kecuali golongan Syiâah yang menghalalkannya. Hamka menegaskan praktek nikah mutah sama halnya dengan mencari pelacur untuk digauli satu malam, lalu pagi hari dibayar upahnya. Uraian di atas menjelaskan bahwa praktek nikah mutah sampai sekarang tetap berada pada posisi polemik, karena ada beberapa pandangan yang membolehkan di samping ada juga yang mengharamkan. Pro-kontra inilah yang menjadi sumbu utama, bahwa nikah mutah tetap berada pada persoalan yang perlu diperbincangkan kembali terkait sejarah, penafsiran dan hukumnya. Terutama bagaimana peran penafsiran Hamka terkait permasalahan ini, dan sejauhmana relevansinya jika dikaitkan dalam konteks ke- Indonesiaan.
Dinamika studi tafsir Al-Qurâan terus berkembang seiring munculnya berbagai problematika kehidupan. Untuk dapat menyelesaikan berbagai macam permasalahan yang muncul, maka mufassir membutuhkan metode tertentu yang bertujuan untuk menjelaskan ayat-ayat Al-Qurâan berdasarkan kaidah-kaidah yang metode yang digunakan oleh mufassir sangatlah beragam, serta tidak bisa terlepas dari kelebihan dan kekurangan. Perbedaan latar belakang sosial mufassir, keilmuan yang dimiliki, serta budaya merupakan beberapa hal yang dapat memberikan keberagaman dalam penafsiran. Maka, menjadi wajar jika dalam kajian tafsir muncul penafsiran sesuai dengan latar belakang yang kemudian bagaimana metode dalam penafsiran Al-Qurâan yang digunakan oleh para mufassir? Berikut penjelasannya Kata âmetodeâ berasal dari bahasa Yunani methodos, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris ditulis dengan method, dalam bahasa Arab diterjemahkan dengan thariqat dan manhaj, serta dalam KBBI, mengandung arti âcara yang teratur untuk mencapai suatu maksud dalam ilmu pengetahuan dan sebagainyaâ. Jadi, metode adalah salah satu sarana yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang telah âtafsirâ berasal dari kata fassara-yufassiru yang berarti menerangkan atau menjelaskan. Tafsir juga berarti al-ibanah menjelaskan makna yang masih samar, al-kasyf menyingkap makna yang masih tersembunyi, dan al-izh-har menampakkan makna yang belum jelas. Jadi, tafsir adalah suatu hasil pemahaman atau penjelasan seorang mufassir terhadap Al-Qurâ penafsiran Al-Qurâan dalam hal ini adalah suatu cara yang sistematis dengan menggunakan kacamata tertentu yang digunakan untuk menafsirkan Al-Qurâ studi tafsir, setidaknya terdapat empat metode yang cukup populer dikalangan Metode Tahlili AnalitisMetode Tahlili adalah metode tafsir yang ayat demi ayat, surat demi surat, sesuai tata urutan mushaf Utsmani dengan penjelasan yang cukup terperinci. Menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Qurâan dari keseluruhan aspeknya, seperti aspek asbab nuzul, aspek munasabah, aspek balaghah, aspek hukum dan lain dimulai dari pembahasan kosakata, baik dari sudut makna dan bahasanya maupun dari sudut qiraâat dan konteks struktur ayat, kemudian munasabah ayat dan sebab turunnya, sampai pada syarah ayat, baik dengan menggunakan riwayat-riwayat dari Nabi, para sahabat, tabiâin, maupun dengan menggunakan pendapat mufassir sendiri sesuai dengan latar belakang sosial dan dilihat dari segi kecenderungan para mufassir, metode tahlili terbagi menjadi tujuh bagian, yaitu tafsir bi al-maâtsur, tafsir bi ar-raây, tafsir as-shufi, tafsir al-fiqhi, tafsir al-falsafi, tafsir al-ilmi, tafsir al-adabi al-ijtimaâi. Adapun penjelasannya sebagaimana berikut 1. Tafsir bi al maâtsur adalah penafsiran ayat Al-Qurâan dengan ayat Al-Qurâan yang lain, dengan riwayat dari Rasul SAW, dan dengan keterangan para sahabat Rasul SAW. Ada juga yang menambahkan dengan para tabiâin, yakni generasi sesudah sahabat-sahabat Rasul SAW. Misalnya, kitab Tafsir Jamiâ al-Bayan fi Tafsir al-Qurâan karya Ibnu Jarir at-Thabari, Tafsir al-Qurâan al-Adzim karya Ibnu Tafsir bi ar-raây adalah penafsiran Al-Qurâan berdasarkan pada penalaran. Misalnya, kitab Tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi, Tafsir Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Taâwil karya Tafsir as-shufi adalah penafsiran Al-Qurâan yang pembahasannya lebih menitikberatkan pada teori-teori sufistik dengan mencari makna batin. Misalnya, kitab Tafsir Al-Qurâan al-Karim karya at-Tusturi, Haqaiq at-Tafsir karya Tafsir al-fiqhi adalah penafsiran Al-Qurâan yang pembahasannya lebih menitikberatkan pada aspek hukum fikih. Misalnya, kitab Tafsir Ahkam Al-Qurâan karya al-Jashash, Tafsir Jami li Ahkam al-Qurâan karya Tafsir al-falsafi yaitu penafsiran Al-Qurâan yang dikaitkan dengan persoalan-persoalan filsafat. Misalnya, kitab Tafsir al-Kasysyaf karya Tafsir al-ilmi adalah penafsiran Al-Qurâan yang menggunakan teori-teori ilmiah untuk menjelaskan ayat-ayat al-Qurâan. Misalnya, kitab al-Jawahir fi Tafsir Al-Qurâan al-Karim karya Thantawi Tafsir al-adabi al-ijtimaâi yaitu penafsiran Al-Qurâan yang cenderung kepada persoalan sosial kemasyarakatan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa. Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang berlangsung. Misalnya, kitab Tafsir al-Manar karya Muhamad Abduh dan Rasyid M. Quraish Shihab, metode tahlili diibaratkan seperti menyajikan hidangan dalam bentuk âprasmananâ. Para tamu dipersilahkan memilih apa yang dikehendakinya dari aneka hidangan, mengambil sedikit atau banyak. Walaupun demikian, diguga keras masih ada hidangan yang dibutuhkan tamu tetapi tidak terhidang disana. Disisi lain, para tamu pasti akan repot mengambil dan memilih sendiri apa yang dari metode tahlili adalah mempunyai ruang lingkup yang luas dan memuat berbagai ide serta gagasan-gagasan. Sedangkan kekurangannya adalah menjadikan petunjuk al-Qurâan bersifat parsial, melahirkan penafsiran secara subjektif, dan sudah masuk pemikiran Metode Ijmali GlobalMetode ijmali adalah metode tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qurâan dengan cara mengemukakan makna yang bersifat global dengan menggunakan bahasa yang ringkas sehingga mudah dipahami. Mufassir menghindari uraian yang bertele-tele serta istilah-istilah dalam ilmu-ilmu Al-Qurâan. Dalam bahasa lain, mufassir menjelaskan pesan-pesan pokok dari ayat yang M. Quraish Shihab, metode ijmali diibaratkan seperti menyodorkan buah segar yang telah dikupas, dibuang bijinya dan diiris-iris, sehingga siap untuk segera disantap. Misalnya, kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuthi dan Jalaluddin al-Mahalli, Tafsir Al-Qurâan al-Adzim karya Muhammad Farid metode ijmali adalah lebih praktis dan mudah dipahami, bebas dari penafsiran israiliyat, serta akrab dengan bahasa Al-Qurâan. Sedangkan kekurangannya adalah menjadikan petunjuk Al-Qurâan bersifat parsial, karena tidak adanya ruang untuk mengemukakan analisis yang Metode Muqaran KomparatifMetode Muqaran adalah metode tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qurâan dengan membandingkan ayat al-Qurâan dengan Hadis, atau pendapat satu tokoh mufassir dengan mufassir lain dalam satu atau beberapa ayat yang ditafsirkan, atau membandingkan Al-Qurâan dengan kitab suci lain. Metode ini lebih bertujuan untuk menganalisis persamaan dan perbedaan dalam penafsiran Al-Qurâan, daripada menganalisis metode muqaran adalah memberikan wawasan yang relatif lebih luas, karena membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang kontradiktif. Selain itu, berguna juga bagi yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat. Sedangkan kekurangannya adalah tidak cocok bagi para pemula karena pembahasannya terlalu luas, kurang diandalkan untuk menjawab permasalahan, terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran Metode Maudhuâi TematikMetode Maudhuâi adalah metode tafsir yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qurâan dengan mengambil suatu tema tertentu. Kemudian mengumpulkan ayat-ayat yang terkait dengan tema tersebut, lalu dijelaskan satu persatu dari sisi penafsirannya, dihubungkan antara satu dengan yang lain sehingga membentuk suatu gagasan yang utuh dan komprehensif mengenai pandangan Al-Qurâan terhadap suatu tema yang dimulai dari penghimpunan ayat-ayat yang setema, kemudian menyusunnya menurut urutan turunnya ayat, serta dengan mempertimbangkan sebab turunnya. Selanjutnya, menjelaskan keterkaitan ayat-ayat tersebut serta memberi komentar dari berbagai aspek terutama term-term kunci dengan pertimbangan analisis dan ilmu yang valid sehingga membentuk kesatuan konsep dan memungkinkan untuk menarik kesimpulan. Oleh karenanya, tafsir dengan metode maudhui, pada hakikatnya adalah tafsir ayat dengan M. Quraish Shihab, metode maudhuâi diibaratkan seperti menyajikan hidangan dalam bentuk ânasi kotakâ. Di dalam kotak tersebut telah ada sajian yang biasanya menyenangkan. Sudah ada juga air minum dan buah penutup hidangan. Namun demikian, yang disodori kotak tersebut, suka tidak suka harus menerima apa yang telah metode maudhuâi adalah menjawab tantangan zaman yang ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan, praktis dan sistematis serta dapat menghemat waktu, dinamis sesuai dengan tuntutan zaman, membuat pemahaman menjadi utuh. Sedangkan kekurangannya adalah memenggal ayat yang mengandung permasalahan berbeda, serta membatasi pemahaman Aâlam
Related PapersTafsir Al qurâan sebagai usaha untuk memahami dan menerangkan maksud dan kandungan ayat-ayat suci mengalami perkembangan yang cukup bervariasi. Corak penafsiran al-Qurâan adalah hal yang tak dapat dihindari. Berbicara tentang karakteristik dan corak sebuah tafsir, di antara para ulama membuat pemetaan dan kategorisasi yang berbeda-beda. Ada yang menyusun bentuk pemetaannya dengan tiga arah, yakni; pertama, metode misalnya; metode ayat antar ayat, ayat dengan hadits, ayat dengan kisah israiliyyat, kedua, teknik penyajian misalnya; teknik runtut dan topical, dan ketiga, pendekatan misalnya; fiqhi, falsafi, shufi dan lain-lain.Al-Qurâan tak akan habis-habisnya dibedah dan dibahas untuk ditemukan sebuah pemahaman sesuai dengan maksud darinya, yang kemudian akan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari sebagai bentuk manifestasi dari tujuan di ciptakannya makhluk di muka bumi ini. Hal ini merupakan bagian dari sebuah keberkahan yang terbesar yang dipancarkan oleh Al-Qurâan. upaya untuk menggali pemahaman tersebut tidak lepas dari jangka waktu yang sangat panjang dengan perolehan jejak sejarah yang terukir sejak masa paling awal hingga saat ini yang membuahkan hasil yang beraneka ragam disiplin ilmu dan pengetahuan yang baru, seperti yang di katakan oleh Prof. Dr. M. Quraisy Shihab, MA. Salah satu ulama tafsir indonesia yang kini berdomisili di negara kesatuan republik indonesia ini dalam bukunya kaidah tafsir mengatakan bahwa â Siapa saja yang mengamati dan mencermati keaneka ragaman bentuk disiplin ilmu keislaman tersebut, baik dari berbagai sudut pandang perspektif, analisis, istilah dan pemaparannya yang berbeda, namun semua itu menjadikan teks-teks Al-Qurâan sebagai inti pokok tinjauan atau titik fokus studinya. Sehingga akhirnya semua disiplin ilmu memiliki ketersinggungan, memperkaya dan menambah berbagai informasi yang saling mendukung antara satu dengan yang lainnya. Selain itu, pada kenyataannya menunjukkan bahwa semua kelompok umat islam, apapun alirannya, selalu merujuk kepada Al-Qurâan untuk memperoleh petunjuk maupun menguatkan pendapat dari aliran maupun kelompoknya, bahkan sebagian orang non muslim menunjuk bahwa ayat-ayat Al-Qurâan sebagai kitab suci umat islam menjadi salah satu inspirasi dalam meluapkan ide-ide berliannyaâ. Selain itu, pengandaian Al-Qurâan itu seperti berlian yang memiliki banyak sisi . jika di pandang pada satu sisi, maka akan menampakkan keindahan tersendiri. Dan apabila dilihat dari sisi yang lainnya akan tampak keindahan yang lain pula. Berlian itu sendiri selalu berkerlipan sepanjang zaman."Penelitian Agama" adalah penelitian tentang hubungan timbal balik antara Agama dan Masyarakat, sedangkan "penelitian keagamaan" adalah Agama sebagai gejala sosial. Adanya ilmu Ushul Fiqh sebagai metode untuk mengistinbatkan hukum dalam agama islam dan ilmu Mustalah Hadits sebagai metode untuk menilai akurasi dan kekuatan Sabda Nabi Muhammad SAW merupakan bukti adanya keinginan untuk mengembangkan metodologi penelitian, meskipun masih ada perdebatan dikalangan para ahli tentang setuju dan tidaknya terhadap materi kedua ilmu. Dalam pandangan Juhaya S. Praja penelitian agama adalah penelitian tentang asal-usul agama, pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut terhadap ajaran yang terkandung di dalamnya a. sumber ajaran agama yang telah melahirkan disiplin ilmu tafsir dan ilmu hadis b. pemikiran dan pemahaman terhadap ajaran agama yang terkandung dalam sumber ajaran agama penelitian tentang hidup keagamaan penelitian keagamaan adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh manusia secara individual dan kolektif. Penelitian keagamaan ini meliputi a. Perilaku individu dan hubungannya dengan masyarakatnya yang didasarkan atas agama yang dianutnya. b. Perilaku masyarakat atau suatu komunitas, baik perilaku politik, budaya maupun yang lainnya yang mendefinisikan dirinya sebagai penganut suatu agama. c. Ajaran agama yang membentuk pranata sosial, corak perilaku, dan budaya masyarakat Pada kajian ini menjelaskan tentang sejarah metodologi penafsiran Al Qur " an dan hadis pada masa klasik, moderen, dan kontemporer hingga pada saat ini. Dimana Metodologi merupakan seperangkat cara yang digunakan mufassir untuk mengungkapkan atau memahami Al Qur " an. Al Qur " an sebagai kitab petunjuk bagi manusia tidak bisa dipahami secara langsung tanpa melalui kaidah-kaidah penafsiran yang berlaku. Metode yang digunakan para ulama klasik pada saat itu ialah dengan perkataan atau qaul sahabat. Karena dengan perkataan sahabat atau orang yang bertemu dengan nabi pasti kaidah penafsirannya tidak banyak menyimpang. Kemudian para ulama moderen saat ini juga menggunakan metode moderen-kontemporer utuk mengetahui makna dari kandungan ayat-ayat Allah yang digunakan untuk pedoman umat islam baik tentang hukum, keyakinan, dan ajaran-ajaran yang dianjurkan oleh syariat islam dan ketentuan-ketentuan yang telah di tetapkan. Agar tidak terjadi perbedaan dan pemahaman dalam sebuah ayat. Rasulullah Saw merupakan seoarang ahli tafsir yang pertama kali pada masa sahabat,kemudian Sesudah generasi para sahabat lalu pada saat ini di teruskan oleh generasi tabiin yang belajar islam kepada sahabat-sahabat dari wilayah sendiri ataupun diwilayah yang lain. Ada tiga kota yang utama dalam proses pendidikan Al Qur " an yang masing-masing kota melahirkan madrasah atau madzhab sendiri yaitu di antaranya adalah, kota mekkah, Madinah, dan irak. Dan Seiring dengan perkembangan zaman telah banyak penafsiran ayat-ayat Al Qur " an yang terus berkembang dan pada saat ini. Untuk itu kita harus mengetahui penafsiran-penafsiran dari masa klasik hingga moderen-kontemporer dan dari masa sahabat hingga generasi tabiin. Kata Kunci Tafsir Al Qur'an dan Al Hadisklasik, moderen dan kontenporer Abstract In this study describes the history methodology of interpretation of Qur'an and Hadith in the classical period, modern, and contemporary until today. Where methodology is a set of ways in which commentators to express or understand the Qur'an. Qur'an as a book of guidance for mankind can not be understood directly without going through the rules of interpretation applicable. The method used by the classical scholars at the time is in word or qaul friend. Because the words of friends or people who met with the rules of interpretation prophet certainly not much distorted. Then the scholars of modern today using modern-contemporary weeks to know the meaning of the content of the verses of Allah used to guide the Muslims good about the law, beliefs, and teachings advocated by the Islamic Shari'a and the provisions that have been set , To avoid differences and understanding in a paragraph. Prophet is seoarang Commentators first time during companions, then After the Companions generation ago today forwarded by generations of successors who studied Islam to the companions of his own territory or region to another. There are three major cities in the educational process Quran that each city gave birth to the madrasas or schools themselves which of them is, the city of Mecca, Medina, and Iraq. Along with the times andBeberapa model penelitian agama islam I Tafsir, Hadis, dan FiqhAbstrak In interpreting the Holy Quran at least comprises of four methods general understanding method of Quran, detail understanding method of the Holy Scripture, comparative understanding method of the Holy Book, and thematical/ topical interpreting method of Quran. The interpreting the verses of the Holy Qoran influenced by those four methods and the background of the interpreters themselves. Each method has the characteristics either its weakness or its strength. For that reason, there is no the best method for understanding according to the writer of this article in term of interpreting Quran nowadays the topical/thematical method is very urgent to answer and to solve Moslem communities.
Banyak mahasiswa dan pengkaji teks Al-Qurâan dan literatur tafsir menghadapi problem-problem metodologis yang cukup serius dan rumit, baik ketika mereka akan, maupun sedang melakukan penelitian. Sementara mahasiswa merasa kebingungan dalam menentukan pokok masalah obyek yang akan diteliti. âMengekorâ model orang lain dalam hal ini menjadi satu kenyataan yang tak dapat dihindari. Konsekuensinya, variasi obyek penelitian tidak berkembang secara signifikan. Selain itu, tidak jarang bahwa di antara mereka melakukan penelitian dalam bidang ilmu tafsir dengan cara yang kurang tepat. Seorang mahasiswa, misalnya, mengajukan proposal penelitian dengan judul âAkidah menurut Al-Qurâan Studi tentang Pemikiran Muhammad Abu Zahrahâ. Judul ini jelas membingungkan apakah dia akan mengkaji konsep Al-Qurâan dengan metode tematik, ataukah dia akan meneliti pemikiran seorang mufassir tentang ajaran Al-Qurâan? Lebih ironis, seorang dosen mengatakan bahwa seseorang mengkaji konsep Al-Qurâan secara tematik, dia harus menempatkan penafsiran para mufassir pada posisi yang sentral. Bahkan banyak mahasiswa tidak mengeksplorasi secara jelas dan tepat dalam skripsi, tesis atau bahkan disertasi mereka pendekatan, metode, kerangka teoritis dan analisis yang akan digunakan dalam penelitian tafsir. Demikianlah beberapa contoh problem metodologis yang dialami oleh para pengkaji dalam bidang tafsir. Oleh karenanya ed., para pengkaji Al-Qurâan dan tafsir semestinya memahami terlebih dahulu 1 tinjauan sejarah penelitian tafsir, 2 pemetaan penelitian dalam studi Al-Qurâan,3 metode, dan 4 analisis penelitian tafsir. Tinjauan Sejarah Penelitian Literatur Tafsir/Ilmu Tafsir Pada dasarnya, penelitian tafsir/ilmu tafsir yang merebak dan tersistematis pada abad ke-20 ini berasal dari tradisi apresiasi dan kritik tafsir exegetical criticism yang sudah muncul sejak zaman sahabat Nabi saw., bahkan sejak nabi saw. masih hidup. Sebuah hadis jika sahih yang menyebutkan âsiapapun menafsirkan Al-Qurâan tanpa ilmu bi-ghayr ilm, maka dia akan masuk nerakaâ bisa dipahami sebagai kritik Nabi terhadap praktek penafsiran Al-Qurâan yang âsembronoâ pada masa itu, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh al-Zarkasyi dalam al-Burhân fĂŽ UlĂťm al-Qurâân al-Zarkasyi, tt. 161. Bukti lain ialah bahwa setelah surat al-Nashr QS. 110 diturunkan, Umar ibn Khattab bertanya kepada sekumpulan sahabat Nabi, âapa pendapat kalian tentang surat tersebut?â Sebagian sahabat menjawab âKita diperintahkan Allah swt. Untuk bertahmid dan beristighfar bila mendapatkan kemenangan.â Sahabat lain terdiam dan tidak memberikan komentar sama sekali. Kemudian Umar bertanya kepada Ibnu Abbas âApakah kamu sependapat, wahai Ibnu Abbas?â Ibnu Abbas menjawab âTidak!â Lalu apa pendapatmu?â Sahut Umar. Ibnu Abbas menimpali âItu adalah ajal Rasulullah saw. yang semakin dekat, diisyaratkan oleh Allah swt.â Umar berkomentar âSaya tidak tahu kecuali apa yang kau katakan.â lihat Sahih al-Bukhari, 8 519. Perkataan umar terakhir itu merupakan apresiasinya terhadap penafsiran Ibnu Abbas. Tradisi kiritik tafsir ini berkembang lebih luas sejak abad kedua hijriah di mana wacana intelektual mulai mengalami kemajuan dan perdebatan ilmiah mulai lebih marak di banyak bidang ilmu keislaman. Dialektika antara ahl-al-hadits dan ahl-al-raây erupakan salah satu fenomena sejarah Islam. Ibnu Hanbal , misalnya, dengan keras mengkritik literature tafsir yang hanya didasarkan pada argumentasi rasional. Demikian pula al-Asmal yang mengecam karya tafsir Abu Ubaydah, Majaz al-Qurâan, sebagai karya tafsir bi-al-raây Abott, 1967 110-113. Hal semacam ini terjadi pula di antara sekte-sekte Islam,baik dalam bidang teologi, fikih, dan lain-lain selama kurun waktu yang cukup panjang. Hanya saja, kritik tafsir, yang merupakan bagian dari proses penelitian literatur tafsir dalam arti luas, pada masa klasik hanya bertujuan untuk membuat âjudical criticismâ yang berkisar pada apakah penafsiran seseorang itu baik atau buruk, apakah seseorang itu memiliki otoritas eksegetik atau tidak. Selain itu, kritik tafsir ini belum menjadi disiplin ilmu yang mandiri, tetapi masih integral, selain dalam karya-karya tafsir, juga dalam disiplin ilmu-ilmu lain, seperti hadis, fikih, dan kalam. Mengikuti disiplin kritik sastra al-naqd al-adabi, pada abad ke-20 M, kritik tafsir kemudian bisa dikatakan sudah menjadi disiplin yang âmandiriâ. Terbitnya buku Die Richtungen der Islamischen Koranauslegung Mazahib al-Tafsir al-Islami Leiden, 1920, karya I. Goldziher, yang kemudian diikuti oleh karya-karya lain, seperti al-TafsĂŽr wa-al-MufassirĂťn 1961, karya Muhammad Husain al-Zahabi, Dirâsat fĂŽ al-TafĂŽr wa Rijâlih 1982 karya Abu Yaqazan Athiyyah, dan beratus-ratus artikel di berbagai jurnal, sudah dipandang cukup sebagai bukti âkemandirianâ disiplin ilmu kritik tafsir. Berbeda dengan kritik tafsir masa klasik, pada masa sekarang disiplin ini tidak hanya memuat âjudicial criticismâ, tetapi juga terutama mengkaji asal-usul dan perkembangan tafsir/teori eksegetik, macam-macamnya, kecenderungannya, âhakikatâ nature-nya, pembentukannya, fungsinya, pengaruhnya dan hubungannya dengan hal lain. Hal-hal tersebut di atas sudah tentu merupakan obyek-obyek atau pokok-pokok masalah pada penelitian literatur tafsir/ilmu tafsir. Pemetaan Penelitian dalam Studi Al-Qurâan Dalam studi Al-Qurâan paling tidak ada tiga kelompok besar penelitian sebagai berikut Pertama, penelitian yang menjadikan teks, atau nash Al-Qurâan sebagai obyek sentral, dan atau sumber pokok dalam penelitian. Hal ini disebut oleh Amin al-Khulli kemudian diikuti oleh bint al-Syathiâ dengan istilah dirâsat al-nashsh, yang mencakup dua kajian 1 fahm al-nashsh/the understanding of text, dan 2 dirâsat ma hawl al-nashsh/study of the surrounding of text al-Syathiâ, 1971 123. Dalam konteks penelitian dalam literatur tafsir dalam studi Al-Qurâan, obyek yang menjadi fokus utamanya adalah kajian model pertama, yakni fahm al-nashsh/the understanding of text. Dalam hal ini, seorang peneliti bisa melakukan penelitian terkait dengan features of the Qurâanic texts tampilan-tampilan luar teks-teks Al-Qurâan, seperti cara baca teks Al-Qurâan, variasi qiraat, makki-madani, naáşm sistematika/ struktur, muḼkam-mutasyÄbih, gaya bahasa style linguistic/balÄgah, manuskrip Al-Qurâan klasik, dan pencetakan teks Al-Qurâan pada masa modern dan kontemporer. Selain itu, peneliti juga bisa membahas tentang kandungan makna teks Al-Qurâan. Hal ini bisa dilakukan secara parsial dan komprehensif dengan metode dan pendekatan tertentu. Yang dimaksud penelitian makna teks Al-Qurâan yang bersifat parsial adalah penelitian terhadap makna satu ayat, sekelompok ayat tertentu, atau satu surah tertentu. Sebagai contoh adalah penelitian yang pernah penulis tulis Sahiron 2014 104-116; 2017 99-109; 2017 143-157 yang mengkaji dan menginterpretasi surah al-AnbiyÄâ/21 39-40, al-Baqarah/2 111-113, dan an-NisÄâ/4 34 dengan menggunakan pendekatan kontekstualis atau pendekatan manÄ-cum-magzÄ. Contoh lain, Nicolai Sinai menulis artikel âAn Interpretation of SĹŤrat al-Najm Q. 53â yang berisi penafsirannya terhadap SĹŤrat al-Najm dengan pendekatan strukturalis Sinai 2011 1-28. Termasuk dalam fahm an-naᚣᚣ pula, kajian-kajian yang bertujuan memahami makna/konsep Al- Qurâan tentang berbagai persoalan secara komprehensif. Dalam hal ini, seorang peneliti dapat mengkajinya dengan pendekatan tafsir tematik, seperti konsep âkeseimbanganâ antara materialisme dan spiritualisme, dan konsep kebebasan berakidah Bint asy-SyÄášiâ1972. Kajian komprehensif ini juga bisa dilakukan dengan pendekatan semantik. Kajian seperti misalnya seperti yang dilakukan oleh Toshiko Izzutsu yang berjudul God and Man in the Koran Semantics of the Koranic Weltanscauung, [Lihat contoh salah satu artikel yang menerapkan kajian semantik Al-Qurâan di sini]. Adapun yang termasuk dalam kategori dirâsat mâ hawl al-nashsh ialah penelitian tentang sejarah teks Al-Qurâan yang memuat penanggalan ayat, kronologi ayat, konteks historis pewahyuan ayat asbâb al-nuzĂťl dan kodifikasi Al-Qurâan. Sudah barang tentu, dalam penelitian model ini juga diperlukan metodologi, sebagaimana antara lain yang telah dikemukakan oleh penulis di atas. Tidak disangkal bahwa pencapaian ulama/sarjana, baik muslim maupun non-muslim, dalam bidang ini pada masa klasik dan modern sudah memperkaya khazanah keilmuan Islam, meskipun tidak pernah matang dan perlu terus menerus dikaji ulang. Kedua, adalah penelitian tentang hasil pembacaan terhadap teks Al-Qurâan, baik yang terwujud teori-teori penafsiran seperti yang telah disebutkan di atas, maupun yang berbentuk pemikiran eksegetik. Dalam konteks ini, hasil pembacaan bisa diistilahkan dengan literatur ilmu tafsir/tafsir, yang oleh Norman Calder dimasukkan dalam âliterature genreâ Calder, 1993 101. Berbeda dengan jenis penelitian pertama yang menjadikan teks sakral sebagai fokus penelitian, penelitian kedua ini mengkaji human creation yang bersifat profan. Aspek-aspek metodologis penelitian kedua inilah yang pernah penulis bahas secara terperinci dalam buku Tafsir Studies. Di antara contoh penelitian ini adalah karya Andrew J. Lane Lane 2006 yang berjudul A Traditional Mutazilite QurâÄn Commentary The KashshÄf of JÄr AllÄh al-ZamakhsharÄŤ d. 538/1144, yang di dalamnya Lane mendiskusikan tentang teks tafsir az-ZamakhsyarÄŤ ditinjau dari sejarah pembuatan teks tafsir tersebut, resepsi atasnya, metode penafsirannya, dan sumber-sumber penafsirannya. Ketiga, adalah penelitian tentang aspek-aspek metodis, baik yang bersumber dari Ulumul Qurâan/Ilmu Tafsir maupun dari ilmu-ilmu bantu lain, baik konsepnya maupun implementasinya. Penelitian tentang asbÄb al-nuzĹŤl dan munÄsabÄt al-ÄyÄt termasuk dalam kategori ini. Demikian pula, penelitian tentang teori-teori hermeneutika tertentu digolongkan ke dalam model penelitian ini. Sebagai contoh, Abdel Haleem, seorang profesor dalam bidang Islamic Studies di SOAS, University of London, dalam artikelnya âThe Role of Context in Interpreting and Translating the Qurâanâ menjelaskan secara baik pentingnya memperhatikan konteks tekstual siyÄq an-naᚣᚣ dan konteks historis dalam proses penafsiran dan penerjemahan terhadap teks Al-Qurâan Haleem 2018 47-66. Keempat, penelitian yang mengkaji âresponsâ atau resepsi masyarakat terhadap Al-Qurâan atau terhadap hasil penafsiran seseorang atas Al-Qurâan. Hakikatnya, penelitian ini termasuk dalam penelitian disiplin ilmu sosial antara lain sosiologi dan antropologi. Namun, karena berkaitan erat dengan masalah Al-Qurâan, penelitian ini bisa juga dimasukkan dalam program studi Al-Qurâan. Penelitian model ini misalnya yang dilakukan oleh Neil Robinson dalam Discovering the Qurâan A Contemporary Approach to a Veiled Text, dan Deny dalam Qurâan recitation Training in Indonesia A Survey of Context and Handbooks, yang meneliti bagaimana teks Al-Qurâan itu dibaca, didengar, dihafal, di-munasabaqah-kan MTQ dan dipraktekkan dalam kehidupan umat Islam Robinson 1996; dan Deny 1988 288-306. Bisa dimasukkan dalam penelitian ini juga karya Faris Keblawi, âIlm Hifáş al-QurâÄn,â yang membahas tentang tradisi menghafal Al-Qurâan dan metodenya serta tantangannya di masa digital ini dengan pendekatan multidispliner Keblawi 2014 168-195. Terkait dengan resepsi atas tafsir, Dale F. Eickelman Eickelman 1993 163-168 dalam tulisannya yang berjudul Islamic Liberalism Strikes Back meneliti bagaimana tanggapan masyarakat Kuwait, Cassablanca dan Suriah terhadap pemikiran strukturalis M. Shahrur. Termasuk juga dalam penelitian jenis ketiga ini ed., kajian yang belakangan dikenal, khususnya di lingkungan PTAIN dengan kajian atau studi Living Qurâan, yang memfokuskan kajiannya terhadap resepsi personal maupun komunitas tertentu atas suatu ayat Al-Qurâan. [] Selanjutnya, silakan baca ulasan kami yang lebih lengkap dan mendalam tentang Pendekatan dan Analisis dalam Penelitian Al-Qurâan dan Ilmu Tafsir di sini! *Tulisan ini disadur dari pengantar buku penulis yang berjudul âTafsir Studiesâ, Yogyakarta eLSAQ Press, 2009 dan juga tulisan penulis yang diterbitkan di Jurnal Suhuf, Volume 12, Nomor 1, Juni 2019. _ _ _ _ _ _ _ _ _ Bagaimana pendapat Anda tentang artikel ini? Jangan lupa berikan reaksi dan komentar Anda di kolom komentar di bawah ya! Anda juga bisa mengirimkan naskah Anda tentang topik ini dengan bergabung menjadi anggota di Baca panduannya di sini! Untuk mendapatkan info dan artikel terbaru setiap hari Anda bisa juga mengikuti Fanpage Facebook di sini! [zombify_post]
ďťżinproceedings{Mustaqim2017MetodePA, title={Metode Penelitian Al-Qurâan dan Tafsir}, author={Abdul Mustaqim}, year={2017} }Buku yang ada di tangan Anda adalah hasil pengalaman riset dan mengajar matakuliah metode penelitian al-Qurâan dan tafsir, selama kurang lebih lima tahun. Setelah penulis merenungkan cukup lama dan mencoba mengendapkan berbagai ide dan gagasan pemikiran terkait dengan riset al-Qurâan dan tafsir, penulis merasa perlu untuk menuliskannya dalam sebuah buku teks atau buku daras. Sebab, memang tidak banyak â untuk tidak menyebut tidak ada-buku yang secara khusus membincang metodologi⌠29 Citations
BookPDF Available AbstractDengan mengucap syukur yang tak terhingga kepada Allah SWT., Buku yang ada di hadapan pembaca budiman merupakan secuil karya yang dipersembahkan oleh dosen mata kuliah yang bersangkutan dengan judul METODOLOGI STUDI ISLAM MULTI PENDEKATAN DAN MODEL. Buku ini sengaja dibuat untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa terkait dengan materi Metodologi Studi Islam. Di dalamnya memuat sejumlah pendekatan dan model yang sering digunakan dalam kerja-kerja penelitian agama Islam. Kemudian pada bagian akhir disajikan pula tentang langkah-langkah ilmiah dalam menyusun sebuah darf penelitian agama Islam. Buku ini disadur dari sejumlah literatur yang membahas tentang Studi-studi Agama Religion Studies dan Studi-studi Islam Islamic Studies ditilik dari multi disiplin keilmuan, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Buku yang hadir ini tentu tidak lepas dari sejumlah kekurangan, sehingga kritik konstruktif sangat diharapkan karenanya. Demikian pengantar kata dari penyusun semoga Buku ini bermanfaat dan menambah wawasan bagi pembacanya. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeAuthor contentAll content in this area was uploaded by Husain Insawan on Mar 21, 2020 Content may be subject to copyright. A preview of the PDF is not available ResearchGate has not been able to resolve any citations for this JamesBy their fruits ye shall know them, not by their roots.â The Varieties of Religious Experience 1902 is William Jamesâs classic survey of religious belief in its most personal, and often its most heterodox, aspects. Asking questions such as how we define evil to ourselves, the difference between a healthy and a divided mind, the value of saintly behaviour, and what animates and characterizes the mental landscape of sudden conversion, Jamesâs masterpiece stands at a unique moment in the relationship between belief and culture. Faith in institutional religion and dogmatic theology was fading away, and the search for an authentic religion rooted in personality and subjectivity was a project conducted as an urgent necessity. With psychological insight, philosophical rigour, and a determination not to jump to the conclusion that in tracing religionâs mental causes we necessarily diminish its truth or value, in the Varieties James wrote a truly foundational text for modern belief. Matthew Bradleyâs wide-ranging new edition examines the ideas that continue to fuel modern debates on atheism and CoulsonThe classic introduction to Islamic law, tracing its development from its origins, through the medieval period, to its place in modern Islam.
model model penelitian tafsir